Dalam bergelut di dunia saham, emosi sering kali menjadi
penyakit utama yang menjadi tirai menutupi kearifan dalam memilih saham. Bila
kita terlanjur cinta kepada sebuah Bank dimana kita menjadi nasabahnya,
pelayanannya begitu baik dan efisien, pengunjungnya banyak dibandingkan dengan
Bank yang lain, maka kita beranggapan sahamnya baik dan kita juga mencintai
sahamnya. Kita membeli saham berharap adanya gain atau modal kita tumbuh,
pelayanannya prima bukan satu-satunya kaitan bahwa saham Bank tersebut akan
tumbuh.
Mungkin, kita menyukai sebuah emiten, karena keponakan kita
yang sangat cemerlang, menjadi pimpinannya dan kita yakin perusahaan tersebut
bagus. Atau karena bertahun-tahun sejak orang tua kita pengguna sebuah produk
odol, maka perusahaan pembuat pasta gigi tersebut menjadi favourit kita dalam
bertrading saham. Atau mungkin perusahaan-perusahaan tersebut adalah tempat
kita bekerja atau bertahun-tahun berinteraksi. Emosi-emosi demikian menutupi
perhitungan rasional kita.
Saham sekedar komoditas. Kita hanya membeli komoditas yang
terbaik. Bila mungkin kita membeli pada saat harga termurah dan menjualnya
kembali saat komoditas tersebut telah menjadi terlalu mahal. Titik.
Nicholas Darvas, seorang pemain saham yang sukses di tahun
50-han, kecemerlangannya melorot tajam ketika ia membuka kantor di muka New
York Stock Exchange, dimana dia bisa mendengarkan semua percakapan dan rumor
dari para broker di pasar yang sibuk itu. Intuisinya kembali menajam, saat ia
kembali ke pola lama dalam berkomunikasi dengan brokernya: lewat telegram! Ia
tutup kembali telinganya dari segala macam rumor yang mengganggu emosinya.
Ilmu perang Sun Tzu yang kini banyak dipakai oleh para
usahawan China, dipercaya menjadi resep China saat ini menjadi kekuatan
ekonomi no2 terbesar didunia. Sun Tzu,
dalam salah satu ajarannya menyebutkan dalam berkompetisi janganlah emosi
mengendalikan tindakan-tindakan bisnis kita. Emosi menutupi petimbangan akal sehat dan
menghancurkan objektivitas, padahal keduanya sangat dibutuhkan dalam berbisnis.
Kehilangan control atas emosi menjadi kendala utama, sekaligus merusak senjata
kita dalam bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar