Hanya Tuhan yang tahu berapa harga saham
besok!....begitu keluh seorang anggota milis sepuh yang geram mendapati ramalan
analis yang melenceng.
Banyak sekali methode untuk meramalkan bagaimana harga
saham besok. Apakah berdasarkan moving average, harga rata-rata yang selalu
bergerak atau berdasarkan harga real saham itu sendiri.
Salah satu metode kuno yang terkenal adalah Candle sticks, yang di ciptakan pertama
kali oleh Munehisa Homma pada abad ke 17 untuk
meramalkan harga beras, sampai saat ini masih relevan dan masih banyak dipakai. Pada intinya metode ini meramalkan harga saham yang akan datang berdasarkan signal
pembalikan dari sebuah trend.
Pada era komputer dan informasi yang
berlimpah, tentu sangat sulit mengikuti harga saham yang melonjak-lonjak dengan
tajam. Para ahli (atau analis technical) kemudian mengganti harga riel saham
tersebut dengan harga rata-rata sekian hari sebelumnya. Inilah yang dikenal
dengan moving average (MA). Dengan moving average, grafik harga saham menjadi
lebih halus. Makin banyak sampel rata-rata, makin halus gambarnya. Itu sebabnya
ada MA 5, MA 12, MA 30, MA 60 bahkan sampai MA 100.
Menurut pengamatan para
ahli, kalau dua MA yang berbeda dari sebuah saham bertubrukan, akan terjadi
sebuah break-out atau perubahan dari sebuah trend. Saat itulah para trader
bereaksi.
MA yang saat ini sangat terkenal, mendunia dan
dipakai oleh banyak sekali trader. Para ahli ada yang tidak puas dengan hanya
MA, namun mengembangkan lagi menjadi EMA, eksponensial. Sehingga grafiknya
lebih lembut lagi dan tentu saja diharapkan lebih akurat lagi untuk meramalkan
harga saham.
Pengembangan dari prinsip grafis MA ini
menjadi alat yang diharapkan ampuh untuk meramalkan harga seperti stochastic,
MACD, Bollinger dll, menjadi alat sehari-hari para trader di pasar modal. Tentu saja termasuk juga di Pasar Modal Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar